Apakah Ma’mum Masbuq Mendapatkan Rakaat, Ketika Mendapati Imam Sedang Ruku’
Dalam masalah: ma’mum masbuq (terlambat) mendapati imamnya ruku’,
apakah dihitung mendapatkan raka’at? Telah terjadi perbedaan pendapat
diantara ulama, yaitu ada dua pendapat ulama.
PENDAPAT PERTAMA
Mendapatkan raka’at. Karena ma’mum masbuq (terlambat) dapat raka’at, jika dia mendapatkan ruku’ bersama imam, sebelum imam menegakkan tulang punggungnya.
Ini merupakan pendapat mayoritas ulama Salaf (dahulu) dan Khalaf (yang datang kemudian). Demikian juga pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, serta disepakati para pengikut madzhab empat. Hal ini juga diriwayatkan dari para sahabat: Ali, Ibnu Mas’ud, Zaid, dan Ibnu Umar. Pendapat ini juga dirajihkan oleh Imam Ibnu Abdil Barr, Imam Nawawi, Ash Shan’ani, Asy Syaukani pada pendapat kedua, Syaikh Bin Baaz, Syaikh Al Albani dan lainnya. [1]
Pendapat inilah yang lebih kuat, insya Allah.
Adapun diantara dalil-dalil pendapat ini ialah:
Hadits dari Al Hasan:
PENDAPAT PERTAMA
Mendapatkan raka’at. Karena ma’mum masbuq (terlambat) dapat raka’at, jika dia mendapatkan ruku’ bersama imam, sebelum imam menegakkan tulang punggungnya.
Ini merupakan pendapat mayoritas ulama Salaf (dahulu) dan Khalaf (yang datang kemudian). Demikian juga pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, serta disepakati para pengikut madzhab empat. Hal ini juga diriwayatkan dari para sahabat: Ali, Ibnu Mas’ud, Zaid, dan Ibnu Umar. Pendapat ini juga dirajihkan oleh Imam Ibnu Abdil Barr, Imam Nawawi, Ash Shan’ani, Asy Syaukani pada pendapat kedua, Syaikh Bin Baaz, Syaikh Al Albani dan lainnya. [1]
Pendapat inilah yang lebih kuat, insya Allah.
Adapun diantara dalil-dalil pendapat ini ialah:
Hadits dari Al Hasan:
Dari Abu Bakrah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang ruku’, lalu dia ruku’ sebelum sampai ke shaf (lalu dia berjalan menuju shaf). Kemudian dia menyebutkan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, “Semoga Allah menambahkan semangat terhadapmu, dan janganlah engkau ulangi.” [HR Bukhari, no. 783. Tambahan dalam kurung riwayat Abu Dawud no. 684]Para ulama berbeda pendapat tentang makna sabda Nabi وَلاَ تعد , karena dapat dibaca:
- وَلاَ تُعِدْ janganlah engkau mengulangi). Sehingga maknanya “janganlah engkau mengulangi shalatmu, karena sudah sah”.
- وَلاَ تَعْدُ janganlah engkau berlari; terburu-buru.
- وَلاَ تَعُدْ janganlah engkau kembali). Sehingga maknanya “janganlah engkau kembali terburu-buru memasuki ruku’ sebelum sampai di shaf”. Atau “janganlah engkau kembali terlambat”.
Hukum Shalat Berjama’ah
Menasehati kaum muslimin dan mengingkari kemungkaran mereka adalah termasuk kewajiban yang utama, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang mungkar” [At-Taubah : 71]
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya. Kalau dia tidak mampu, rubahlah dengan lisannya. Kalau dia tidak mampu, rubahlah dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemah iman” [HR Muslim]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Agama adalah nasihat”. Ada yang bertanya kepada beliau : “Untuk siapa ya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Beliau menjawab : “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, imam-imam kaum muslimin dan kebanyakan kaum muslimin” [HR Muslim]
Tidak diragukan lagi bahwa meninggalkan shalat jama’ah tanpa udzur
adalah termasuk kemungkaran yang wajib diingkari. Karena shalat lima
waktu di masjid dengan berjama’ah adalah kewajiban bagi laki-laki. Hal
ini berdasarkan hadits-hadits yang sangat banyak, diantaranya sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa yang mendengar panggilan adzan kemudian dia tidak datang (ke masjid untuk shalat berjama’ah), maka tidak ada shalat baginya kecuali jika ada udzur/halangan” [HR Ibnu Majah-pent]
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ad-Daruquthni dan lain-lain dengan sanad jayid dishahihkan oleh Imam Hakim.
Dan diriwayatkan juga dalam sebuah hadits shahih bahwa.
“Artinya : Ada seorang laki-laki buta datang kepada Nabi dan berkata : ‘Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya tidak mempunyai seorang penuntun yang bisa menuntun saya ke masjid. Adakah keringanan bagi saya untuk shalat di rumah ? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : Apakah kamu mendengar panggilan adzan? Orang itu menjawab : Ya. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : kalau begitu kamu wajib datang ke masjid” [HR Muslim : 1044]
Dan hadits-hadits yang semakna dengan ini jumlahnya cukup banyak.
Oleh karena itu, seorang muslim apabila dinasihati oleh saudaranya,
dia tidak boleh marah dan tidak boleh menolak kecuali dengan cara yang
baik. Justru sepatutnya dia berterima kasih kepada saudaranya yang
mengajak kepada kebaikan dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia tidak boleh bersikap sombong terhadap orang yang mengajak kepada kebenaran, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela dan mengancam orang yang bersifat seperti ini dengan azab Jahannam, sebagaimana firman-Nya.
“Artinya : Dan apabila dikatakan kepadanya : Bertakwalah kepada Allah, bangkitlah kesombongannya berbuat dosa. Maka cukuplah Jahannam baginya dan itulah sejelek-jelek tempat” [Al-baqarah ; 206]
Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberi petunjuk kepada seluruh kaum muslimin.
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Tsani, Penulis Syaikh Abdul Aziz
bin Abdullah bin Baz, Edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penerjemah Abu
Abdillah Abdul Aziz, Penerbit At-Tibyan Solo]