Pendahuluan.
Perbincangan tentang teori telah lama berlangsung, terutama setelah
filosof Perancis Rene Descartes (abad ke 16) menyatakan bahwa teori dibangun
dari keragu-raguan. Ia terkenal dengan motorya “cogio engosum” , aku berfifkir maka aku ada. Ragukan segala sesuatu,
pikirkan, coba pahami, bandingkan, dan berakhir dengan teori. Terlihat sekali
bahwa paham rasionalisme yang diawali dengan skeptitisme seperti yang
dikembangkan filosof Yunani Aris Toteles. Masih mewarnai pemikiran Rene Descartes. Pandangan ini telah
memperkuat metode deduktif (berangkat dari hal-hal yang umu menjadi satu
simpulan khusus) yang melahirkan dan mengembangkan matematika. Namun karena
hanya dipikirkan secara mendalam dengan mengacu pemikiran filosof Yunani Kuno,
dan tidak perlu mencoba membuktikannya, Descartes sempat terjebak oleh pemikran
yang amat naïf terkait siklus hidrologi, karena mempercayai pendapat Thales dan
Plato. Menurut Thales, air laut juga jatuh di atas bumi dan masuk dalam tanah.
Plato juga menyetujui ide ini dan berpendapat bahwa kembalinya air laut
itu karena adamya Tatare, Jurang besar di pinggir bumi (dengan asumsi bahwa
bumi itu datar). Pendapat ini dianut
oleh Rene Descartes (Bucaille, 1987: 254).
Hampir bersamaan dengan itu Roger Bacon, kemudian Francis Bacon di Inggris
melahirkan metode nduktif yang berlawanan arah dengan deduktif. Ragukan segala
sesuatu, tetapi jangan hanya dipikirkan, lakukan percobaan, eksperimen,
buktikan kebenarannya, jika salah maka ulangi sampai mendapatkan hasil yang
benar, cek kebenarannya, buat satu simpulan umum tentang hal itu, lalu bangun
teori. Metode induksi telah diawali oleh para ilmuwan Muslimseperti JabirIbn
Hayyan (Geber), perkembangan laboratorium kimia pertama kali (Bapak kimia),
filosof Al-Kindi (Al-Kindu), dari abad ke-8 hingga ke-9. Kemudian ahli fisika
Ibnu Al-Haytsam (Al-Hazan) dari abad ke-11yang banyak mempengaruhi Roger Bacon.
Juga ahli eksperimentasi kedokteran seperti Ibnu Sina (Avicenna), penyusun
ensiklopedi kedokteran pertama, bukunya dalam bahasa Arab yang diterjemahkan
dengan judul Canon on medicine, lama menjadi pegangan para dokter di Erop,
dan lain-lain, pada saat dunia barat masih pada abat kegelapan (Arsyad, 1999).
Metode deduktif sekaligus induktif
kemudian berevulusi menjadi metode ilmiah yang landasanya pemikiran
reflektif, penerapan deduktif dan induktif secara bergiliran untuk menemukan
kebenaran ilmiah . setelah melalui berabad-abad evolusi pemikiran hali ini di
Amerika Serikat melahirkan filsafat pragmatism yang dipelopori oleh Charles S.
Pierce, William james dan diterapkan secara nyata oleh ahli pendidikan John
Dewey pada awal abad ke-XX. Sesuai pendapat Dewey dengan landasan
experimentasi, teori yang berwal dari keraguan harus dibuktikan kebenarannya,
jika benar dan sudah tidak layak menjadi teori, hal ini ju ga sesuai degan
analogi Albert Einstein, teori diumpamakan jembatan yang fondasi di kedua
ujungnya merupakan fakta. Jika jembatan (teori) yang dibagun sudah kokoh, maka
tentu tidak perlu diruntuhkan, hanya karena keragu-raguan.
1.1.1 Makna Teori
Sebelum berbincang tentang teori-teori pokok belajar, tentunya perlu
penyamaan persepsi kita tentang makna teori-teori pokok belajar, tentunya perlu
penyamaan persepsi kita tentang makna teori, secara ringkas Dorin, Demmin and
Gabel (1990) dan juga Smith (2009:76) menyatakan bahwa karakteristik teori
adalah sebagai berikut : (i) teori adalah sebuah penjelasan umum tentang
berbagai pengamatan yang dibuat seiring denganberjalannya waktu, (ii) teori
menjelaskan dan meramalkan timbulnya prilaku, (iii), suatu teori tidak dapat
dibangun diatas keragu-raguan, (iv), suatu teori dapat diubah, dimidifikasi,
Kerlinger (1989) menyatakan bahwa teori adalah suatu himpunan dari
konstruk-konstruk (konsep-konsep),
definisi-definisi dan proposisi—propossi yang saling berkaitan dan menyatakan
suatu pandangan yang sistematis tentang suatu fenomena dengan cara menentukan
hubungan antarvariabel, dengan tujuan menjelaskan fenomena tersebut.
Oxforld Advanced Learners Dictionary(1990:1330) mengungkap beberapa
makna teori, antara lain : suatu bteori adalah suatu himpunan gagasan yang
masuk akal dan bertujuan untuk menjelaskan fakta-fakta atau kejadian-kejadian,
juga dinyatakan bahwa; suatu teori adalah pernyataan tentang prinsip-prinsip
yang berlaku bagi subjek bahsan tertentu. Dictionary.com yang diakses tanggal
12 November 2009 dan bersumberkan
http:/dictionary.reference.com./browser/theory mengemukakan sejumlah makna
tentang teori. Diantaranya dinyatakan, teori adalah suatu himpunan koheren dari
sejumlah proposisi umum yang digunakan sebagai prinsip-prinsip unutk
menjelaskan sutau peristiwa, ataupun fenomena. Adapun didefinsikan bahwa teori
adalah suatu konsep atau pandangan khusus tentang sesuatu yang harus dikerjakan
atau metode untuk melaksanakan sesuatu, suatu system yang tersusun dari
sejumlah hukum-hukum dan prinsip-prinsip. Sedangkan Web define theory (http:/www.google.co.id/search) diakses pada
tanggal yang sama, meyatakan bahwa teori
adalah sekimpulan hukum-hukum, gagasan, prinsip dan teknik yang digunakanpada
suatu subjek khusus. Juga dinyatakan bahwa teori adalah suatu penjelasan
tentang sejumlah peristiwa, atau secara lebih khusus, teori adalah penjelasan
tentang hubungan antara dua atau lebih konsep atau variabel.
Mencoba memahami esensi dari
sejumlah proporsisi tentasakang teori di atas, dapat ditarik simpulan bahwa
suatu teori adalah suatu penjelasan tentang hunbungan atara dua atau lebih
konsep, atau variabel, yang berupa sekumpulan hokum, gagsan, prinsip dan teknik-teknik
tentang subjek tertentu. Teori tidak bersifat kekal, karena dapat diubah jika
ada bukti baru yang bersifat menyangkal teori itu. Dalam khasanah pembelajaran,
dominasi teori behaviorisme demikian kuatnya, bahkan berlangsung puluhan tahun.
Namun dengan sejumlah bukti yang berpangkal dari suatu pradigma baru dan
keansahannya tidak dapat disangkai pada saat itu, teori behaviorisme dgantikan
oleh kognitivisme.
Dalam konsep pembelajaran, Bruner
membedakan antara teori pembelajaran, (Instructional
Theory) dan teori belajar, (Learning
Theory). Dalam hal ini pembelajaran semakna dengan pengajaran. Menurut
Bruner (Degeng, 1989 teori pembelajaran adalah preskritif dan teori belajar
adalah deskriptif. Karena tujuan utama teori pembelajaran adalah menetapkan
metode pembelajaran yang optimal, sedangkan dikatakan sebagai deskriptif karena
tujuan utama teori belajar adalah menjelaskan proses belajar. Teori pembelaran
menaruh perhatian pada bagaimana seorang (guru) memengaruhi orang lain agar
terjadii proses belajar. Teori pembelajaran berurusan dengan upaya mengontrol
dengan variabel-variabel yang dispesifikasi dalam teori belajar agar memudahkan
belajar (Budningsih, 2005: 11) Teori belajar menaruh perhata pada hubungan
diantara variabel yang menetukan hasil belajar. Teori ini menekankan kepada bagaimana seharusnya seseorang
belajar. Reigeluth (Dedeng, 1989 ) mengembangkan teori Bruner ini dengan
menyatakan bahwa sifat preskriptif dan deskriptif ini dimiliki baik oleh teori
pembelajran maupun teori belajar bergatung kepada tujuan atau proporsisi yang
dipergunakan.
1.1.2 Hakikat Universal dari Belajar
Seperti kita ketahui, dewasa ini terjadi perkembangan yang amat cepat
dalam berbagai aspek kehidupan, baik politik, kebudayaan, pertahanan,
komunikasi yang berdampak pada pendidikan dan pembelajaran. Dalam kaitan ini
UNESCO dan sesuai laporannya yang diberi judul Learning:The Treasure Within (1996) menyampaikan adanya sejumlah
tantangan controversial yang harus dihadapi dengan cara menyeimangkan berbagai
tekanan (tension), Yaitu tekanan
antara tuntunan : global dengan lokal, universal dengan individual,
pertimbangan jangka panjang dan jangka pendek, tradisional dengan modern, antara
kebutuhan spiritual dengan kebutuhan material, dan sebagainya. Tantangan yang
bersifat universal ini juga harus dihadapi secara universal pula.
Dalam dunia pembelajaran, untuk menghadapi dan beradaptasi dengan
berbagai tantangan itu. UNESCO memberikan resep berupa apa yang disebut empat
pilar belajar. (four pillars of
education/learning), yaitu (1) learning
to know, (2) learning to do) (3) learning to live together) dan (4) learning to be). Secara ringkas kita bahas empat pilar itu d
bawah ini.
1.1.3 Learning to Know
Belajar untuk mengetahui, (learning
to know), berkaitan dengan perolehan, penguasaan dan pemanfaatan
pengetahuan. Belajar untuk mengetaui oleh UNESCO dipahami sebagai cara dan
tujuan dari eskstensi manusia. Hal ini sesuai dengan penegasan Jacques Delors (
1966 ) sebagai ketua komisi penyusun laporan Learnig: the treasure within, yang menyatakan dua mabfaat
penetahuan, yaitu pengetahuan sebagai cara ,(means)
dan pengetahuan sebaga hasil atau tujuan (end).
Sebagai cara hidup, terkait keniscayaan bahwa manusia memang wajib memahami
dunia disekelilingnya, minimal sesuai dengan pemenuhan kebutuhannya untuk
menjadi makhluk yang berkehormatan dan memiliki percaya diri, mengembangkan
keterampilan okupasionalnya, serta ber berkomnkasi dengan yang lain. Dari segi tujuan, belajar untuk
mengetahui bertujuan untuk memberkan kepuasan karena perolehan pemahaman,
pengetahuan dan kepuasan ,melalui penemuan-penemuan secara mandiri.
Belajar untuk mengetahui berimplikasi terhadap
diamokodasikannya konsep belajar tentang bagaimana belajar, (learning how to learn), dengan
mengembangkan seluruh potensi konsentraisi pembeajaran, keterampilan mengingat
dan kecakapan untuk berpikir. Sesuai fitrahnya, sejak bayi, anak kecil harus
belajar bagaimana berkonsentrasi terhadap objek atau orang-orang lain. Proses
untuk memperbaiki keterampilan berkonsentrasi ini dapat bermasifestasi dengan
bebagai kesempatan belajar yang berbeda-beda, yang muncul di sepanjang
kehidupannya.
Pengembangan keterampila mengingat adalah suatu wahana yang unggul untuk
menanggulangi aliran yang berlimpah dari informasi instan yang disebarluaskan
oleh banayak media pada saat ini. Berbahaya jika kta berkesimpulan bahwa arus
informasi yang luar biasa bnayaknya ini tidak perlu ditanggulangi dengan
penigkata keterampilan dalam mengingat. Kecakapan manusia dalam memorisasi
asosiatif yang spesifik ini tidak boleh direduksi semata oleh hadirnya proses
automatisasi, tetapi harus selalu dikembangkan secara berhati-hati.
Sementara itu, berpikir terkait sesuatu yang dipelajari anak, mula-mula
dari orang tuanya, kemudian dari para gurunya. Proses berpikir ini harus
terkait dengan keterampilan menguasai penyelesaian masalah praktiks maupun
mengembangkan masalah abstrak. Oleh sebab itu pembelajaran sebagai praktik
pendidikan harus mampu memandu siswa untuk mampu memandu siswa secara sinergis
penalaran deduktif sekaligus penalaran induktif yang pada hakkatnya justru
suatu proses yang berbeda arah. Keterampilan berpikir secara reflektif ini
penting untuk melatih anak menyelesaikan berbagai prolema kehidupan. Belajar
untuk berpikir merupakan pembelajaran sepanjang hayat, seseorang selalu siap
belajar unutk berpikir, selama hidupnya tidak akan mengalami kebosanan karena
menghadapi keniscayaan rutinitas.
1.1.4 Learning to Do
Konsep learning to do ini
terkait dengan pertanyaan pokok, bagaimana kita mengadaptasikan pendidikan
sehingga kita mampu membekali siswa bekerja untuk mengisi berbagai jenis
lowongan pekerjaan di masa depan. Dalam hal ini pendidikan dihrapkan mampu
menyiapkan siswa berkaitan dengan dua hal. Pertama berhubunhan dengan ekonomi
industri, dimana para pekerja memperoleh upah dari pekerjaanya. Kedua, yaitu
suatu usaha yang kita kenal sebagai wirausaha, para luluasan sekolah menyiapkan
jenis pekerjaanya sendiri dan menggaji dirinya sendiri (self employment), dalam semangat entrepreneuship. Suatu hal yang patut dicatat dan
diimplikasikandengan baik dalam kurikulum pembelajaran di sekolah., sejak paruh
kedua abad ke-20 yang lalu telah ada pergeseran besardalam dunia industry. Jika
dulu lebih berpokus pada pekerjaan fisik di limgkungan manufaktur, maka saat
ini justru yang banyak berkembang yaitu layanan jasa. Pekerjaan ini semaki
dibutuhkan denga berkembang pesatnyateknologi komunikasi dan informasi,
pekerjaan yang “tidak tampak” (intangible)
makin menjmur.
Belajar untuk bekerja, learning
to do adalah belajar atau berlatih menguasai keterampilan dan kompetensi kerja.
Jadi menurut konsep UNESCO belajar jenis ini berkaitan dengan pendidikan
vokasional. Pada perkembangannya, dunia usaha/dunia industry menuntut agar
setelah lulus, para siswa pembelajar
siap memasuki lapangan kerja, sehinggga seharusnya ada link and match antara sekolah dengan dunia usaha. Maknanya, sekolah
wajib menyiapkan berbagai keterampilan dasar untuk siap bekerja. Keterampilan
dan kompetensi kerja harus dikuasai siswa, sejalan denga tuntunan perkembangan
dunia industry memang semakin tinggi, tidak sekadar pada tingkat keterampilan
kompetensi teknis atau operasiaonal, tetapi bahkan sampai dengan kompetensi
profesioanal. Sehubung dengan pesatnya perkembangan dunia kewirausahaan,
pendidikan dan pembelajaran dituntut untuk mampu menyiapkan para lulusan yang siap
mengisi sector informal, itu berarti pembelajaran harus mampu mengembangkan
jiwa inovatif siswa.
1.1.5 Learning to Live Together
Belajar untuk hidup bersama,(
Learning to Live Together), mengisyaratkan keniscayaan interaksi berbagai
kelompok dan golongan dalam kehidupan global yang dirasakan semakin menyempit
akibat kemajuan teknologo komunikasi dan informasi. Komunikasi antar manusia di
kedua belahan dunia kini sudah dalam hitungan detik. Agar dapat berinteraksi,
berkomunikasi, saling berbagi dan, bekerja sama dan hidup bersama, saling
menghargai dalam kesetaraan, sejak kecil anak-anak sudah harus dilatih,
dibiasakan hidup berdampingan bersama. Anak-anak harus banyak belajar dari
hidup bersama secara damai, apalagi di alam Indonesia yang multikultur,
multietnik ini sehingga mereka biasa bersosialisasi sejak awal (being sociable).
Sepanjang sejarah, kehidupan manusia secara konstan memperoleh ancaman
dari berbagai konflik, tetapi resiko menghadapi konflik ini semakin tinggi
terutama karena dua faktor penyebab. Penyebab pertama adalah potensi potensi
luar biasa untuk merusak yang berkembang dari diri manusia sendiri, dan ini
dibuktikan di dalam abad ke-20 yang lalu. Pada abad ini berlangsung dua perang
dunia, perang dunia I dan perang dunia II yang menghancurkan kemanusiaan,
membunuh jutaan manusia, menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan global.
Penyebab keduan, perkembangan media informasi yang luar biasa canggih sehingga
berita tentang konflikdi berbagai belahan dunia cepat tersebar luas, dan hal
ini telah banayak berpengaruh terhadap diri manusia, sayangnya justru pengaruh
negative semacam ini yang paling mudah ditiru. Sehubung dengan itu muncul
pertanyaan mendasar. Dapatkah kita berbuat lebih baik? Dapatkah kita hidup
berdampingan secara damai untuk memperoleh kemaslahatan bersama? Jawabanya
tentu melalui usaha terus menerus yang tidak kenal lelah dan tidak kenal putus
asa melalui dunia pendidikan.
1.1.6 Learning To Be
Belajar untuk menjadi manusia yang utuh (learning to be), mengharuskan tujuan belajar dirancang dan
diimplemantasikam sedemikian rupa, sehingga pembeajaran menjadi utuh,paripurna.
Manusia yang utuh adalah manusia yang seluruh aspek kepribadiannya berkembang
secara optimal dan seimbang, baik aspek ketakwaan, terhadap tuhan, intelektual,
emosi, social, fisik, maupun moral. Seimbang dengan kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional, kecerdasan social, dan keceradasan spiritual. Untuk
mencapai hal tersebut diperlukan individu-individu yang banyak belajar dalam
mengembangkan seluruh aspek kepribadiannya. Dalam kaitan itu mereka harus
berusaha banyak meraih keunggulan (being
excellene) keunggulan ditunjang dan diperkuat oleh moral yang kuat (being
morality). Moral yang kuat wajib ditunjang oleh keimanan inilah yang diharapkan
mampu memandu pembelajaran untuk belajar menghargai orang lain, toleran
terhadap hak-hak orang lain, dan memahami bahwa hidup bersama dengan berbagai
jenis ras, suku, warna kulit, bahasa, tradisi dan budaya merupakan suatau
keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Pembelajar secara ringkasnya harus
mampu menemukan orang lain (to discover
other people) sebagai bagian dari dirinya sendiri. Ikatan manusia semacam
ini akan lebih diperkuat jika sejak kecil anak sudah dibiasakan, dilatih,
dihadapkan kepada situasi, bahwa manusia diseluruh dunia ini harusnya memang
menuju kejutuan umum bersama (toward the
common goals) , yaitu tercapainya kondisi dunia yang sejahtera, aman, adil,
makmur dalam kesejahteraan an salng menghormati.
1.1.7 Implementasi Empat Pilar Pendidikan di Indonesia
Implementasi empat pilar pendidikan seperti yang dicanangkan UNESCO ini
dapat dilihat dalam konsideran yang melandasi Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam kaitan ini, reformasi
pendidikan yang melahirkan visi pendidikan nasional Indonesia harus mencakup
hal-hal sebagai berikut.
Pertama, penyelenggaraan
pendidikan dinyatakan sebabagi suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didi yang berlangsung sepanjang hayat, di dalam proses tersebut harus
ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemaun, serta
mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Prinsip tersebut
menyebabkan adanya pergeseran pradigma pembelajaran. Paradigma pengaajaran yang
lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentranformasikan pengetahuan kepada
peserta didiknya, bergeser pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran
lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitas
dirinya dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, berakhlak mulia, berkpribadian, memiliki kecerdasan, memiliki
estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi
dirinya, mayarakat, bangsa, dan nergara.
Kedua, adanya perubahan
pandangan tentang peran manusia dari paradigma manusia sebagai sumberdaya
pembangunan, menjadi paradigm manusia sebagai subjek pembanguanan secara utuh.
Pendidikan harus mampu membentuk manusia seutuhnya yang digamabarkan sebagai
manusia yang memiliki karakteristik personal yang memahami dinamika psikososial
dan lingkungan kulturalnya. Proses pendidikan harus mencakup: (a)
penumbuhkembangan keimanan, ketakwaan, (b) pengembangan wawasan kebangsaan,
kenegaraan, demokrasi dan kepribadian, (c) penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi; (d) pengembangan, penghayatan,
apresiasi, dan ekspresi seni, serta (e) pembentukan manusia yang sehat
jasmani dan rohani. Proses pembentukan manusia itu pada hakikatnya merupakan
proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang
hayat.
Ketiga, adanya pandangan
terhadap keberadaan peserta didik yang teritegrasi dengan lingkungan
sosio-kulturalnya dan pada gilirannya akan menumbuhkan individu sebagai pribadi
dan anggota masyarakat mandiri yang berbudaya. Hal ini sejalan dengan proses
pentahapan aktualisasi intelektual, emosional, dan spiritual peserta didik di
dalam memahami sesuatu, mulai dari tahapan yang paling sederhana dan bersifat
eksternal, sampai tahapan yang paling rumit dan bersifat internal, yang
berkenaan denga pemahaman dirinya dan limgkungan kulturalnya.
Jika kita melihat pada jargon-jargon yang dipergunakan di dalam menyusun
konsideran Peraturan Pemerintah tersebut, maka terlihat jelas arah pendidikan
dan pembelajaran di Indonesia akan ke
mana, serta konsep pendidikan dan pembelajaran apa yang sedang diminati di
Indonesia. Beberapa istilah seperti pembudayaan, pergeseran paradigma
pengajaran ke paradigma pembelajaran,
integrasi peserta didik denga lingkungan
sosio-kulturalnya memperlihatka pengaruh arus konstruktivisme social ke dalam
dunia pendidikan di Indonesia. Sementara itu, sesuai dengan konsep pembelajaran
sepanjang hayat dan learning to be
dari dari UNESCO, gambaran tentang manusia Indonesia seutuhnya sebagai tujuan
akhir pendidikan telah dirumuskansecara lengkap.
1.1.8 Landasan Filosofis Pendidikan Jasmani
Dualisme dan monoisme tubuh.
Pembahasan secara filosofis pendidikan jasmani dan olahraga, di dekati
dari konsep dualisme antara tubuh dengan pikiran, yang kemudian dikembangkan
menjadi konsep monoiesme. Menurut paham
dualisme antara tubuh dan pikiran sangat jelas berbeda. Tubuh hanyalah suatu
benda kompleks yang realistik sementara pikiran berada pada pikiran pada
dimensi abstrak dan bersifat mental. Pikiran tidak bergantung pada material
tubuh, karena itu ketika tubuh tidak berfungsi lagi pikiran dapat terus eksis
secara independen.
Menurut tokoh filosofis, Descartes (1960; dalam Krectmer, 2005;49) tubuh
yag berada di alam nyata memiliki kualitas yang bervariasi seperti bentuk,
warna kulit, tinggi badan dan struktur molekul, sementara pikiran berada pada
alam sebaliknya dan tidak memiliki bentuk, warna, tinggi badan dan struktur
molekul. Sebagai contoh, rasa kesenangan yang muncul ketika melakukan senam
aerobik adalah aktivitas pikiran berupa perubahan elektro-kimia di dalam
saluran cranium otak.
Pendekatan dualisme ini mencirikan bahwa tubuh berhubungan dengan
pikiran. Dalam upaya memahami gerak untuk dapat meningkatkan penampilannya,
dapat didekati dari dua sisi yang berbeda, yakni : (1) secara fisik dapat
dikaji dari sistem faal tubuh, (2) dari rasa takut, berani, motivasi dan
personality. Menurut Krecthmer (2005;50)
dualisme sangat terkait antara pikiran dan praktik, seperti dikatakan Descartes
bahwa unsur fisik berbeda dengan unsur pikiran. Fisik berada dalam ruang, sebuah
bola basket berada dalam ruangan. Tubuh dapat diukur dan diperlukan sebagaimana
objek benda lain, yang patuh tunduk pada aturan hukum alam. Tubuh adalah mesin
gweraksebagaimana aksi gerak dapat dijelaskan melalui prinsip prinsip mekanika,
seperti tuas/ungkit, daya, gaya, kecepatan sudut,dan sebagainya. Sementara itu
kaum dualisme juga memandang bahwa pikiran adalah sisi subjektif kehidupan.
Pikiran tidak sama dengan jasat fisik. Gagasan yang dihasilkan dari pikiran
tidak memiliki ukuran dan bentuk seperti halnya tubuh. Pikiran tidak perlu
patuh pada aturan alam, tetapi bisa dikendalikan oleh aturan-aturan logika,
koherensi, dan kaum unsur-unsur berpikir lainnya. Dengan demikian, dapat
dinyatakan bahwa dualisme menyakini adanya interaksi antara tubuh dan
pikiran. Tubuh mempengaruhi pikiran dan
pikiran mempengaruhi tubuh. Meskipun
alasan mengapa ada hubungan antara dimensi utuh fisikal dengan non-fisikal
sukar dijelaskan, tetapi kaum dualis mengatahui dari pengalaman pribadi dan
penelitian ilmiah bahwa tubuh dan pikiran mempengaruhi satu sama lain. Tubuh
tidak dapat bergerak sendiri karena hanya sebuah mesin gerak, menunggu perintah
dari pikiran. Tubuh dan pikiran hubungan simetris karena tubuh bergantung
kepada pikiran.
Berkaitan dengan hal itu, diperlukan intensitas gerak yang dilakukan.
Otak dan gerak memang saling mempengaruhi. Pada perkerjaan latihan fisik yang
terlalu berat, melebihi kapasitas fisik itu sendiri. Contoh M. Ali petinju
legendaris menjelang masa tuanya terkena gangguan motor control sensoris di jaringan otaknya disebut penyakit Parkinson. Menurut Freberg, LA (2006) Discovering
Biological Psychology. Boston Hougton Miffin Company….Parkinson adalah jenis penyakit degeratif ciri-cirinya adalah
kesukaran dalam bergerak, tremor dan kebekuan ekspresi wajah. Freberg
menjelaskan bahwa penyakit ini nampak ketika neuron dopaminergic dari substantia
nigra di batang otak mulai menurun fungsinya. Substantia nigra membentuk
hubungan erat dengan basal ganglia dalam cerebral hemisfer. Hasil akhir dari
degenerasi dalam substantia nigra adalah kurangnya aktivitas dopaminergic pada
basal ganglia. Karena basal ganglia sangat berpengaruh dalam menghasilkan
gerakan volunter (voluntary movement) maka tidaklah mengherankan orang yang
mengalami Parkinson sangat sukar dalam mengendalikan gerakan volunter.
Namun demikian jalinan hubungan antara aktivitas jasmani dengan
penampilan dan fungsi otak menumbuhkan bentuk pengetahuan baru dalam pandangan
psikoanalisis pengetahuan diri (pikiran) dan pemahaman filosofi gerak insani
dalam konteks kecerdasan jasmani.
Aktivitas jasmani (olahraga) dalam psychoanalysis pengetahuan diri
merupakan satu bukti keterkaitan domain kognitif dalam kegiatan olahraga.
Olahraga bisa dianggap sebagai penjelmaan baru dari aktivitas fisik, yang
kemudian lahir istilah baru yaitu ilmu keolahragaan, perlu pula dianalisis
secara filsafat sejauhmana bisa diketahui diri individu dalam upaya
mempertahankan dan meningkatkan fitrah individu berkualitas.
Pendidikan
jasmani dan olahraga dalam konteks pengetahuan diri juga mengarah pada diskusi
Socrates bahwa “ketahuilah apa yang saya
tahu dan apa yang saya tidak tahu” atau kadang-kadang diartikan sebagai
kapabilitas diri dan batasan diri (Hyland, 1990:71).
Suatu ungkapan pelatih yang sering terlontar saat menasehati atletnya
adalah bermainlah apa yang menjadi kelebihan diri dan mengetahui apa yang
menyebabkan keterbatasan diri, untuk kemudian bermain dalam batas-batas
tersebut. Meskipun sukar mengetahui batas-batas kemampuan dan kelebihan diri
sendiri. Bermainlah dalam batas-batas kemampuan diri mengisyaratkan bahwa
bermain jangan melebihi kapasitas diri, tetapi juga bermainlah sampai mencapai
keterbatasan diri. Mengetahui apa yang dapat dilakukan dan tidak dapat
dilakukan adalah jenis pengetahuan diri, yang dalam kaidah filsafat Socrates
disebut pengetahuan diri.
1.1.9 Landasan Biologis Peristiwa Gerak Dalam Aktivitas Pendidikan Jasmani.
Ketika penampilan gerak secara luar biasa, istimewa, menakjubkan dapat
disuguhkan, sebagaimana yang pernah di lakukan Lim Swie King dengan jump smashnya, Susi Susanti dengan drop
shotnya menukik tajam atau Taufik Hidayat
dengan backhand smash andalannya merupakan peristiwa gerak yang sangat luar
biasa. Pertanyaannya mengapa mereka bisa melakukan itu?. Bagaimana proses
geraknya?. Untuk keperluan itu, disajikan proses biologis kontraksi otot yang
dikendalikan oleh sistem syaraf. Jenis otot. Otot membentuk jaringan tubuh
manusia yang tugasnya bertanggung jawab terhadap semua gerakan tubuh manusia.
Ada dua jenis otot, yakni : (1) otot halus (smooth
muscle), (2) otot lurik (striated muscle)
dinamakan otot lurik karena terbagi dua, yakni otot rangka skeletal muscle dan
otot jantung cardiac muscle Freberg (2006).
Otot halus ditemukan di sistem pencernaan, pembuluh darah arteri dan
sistem reproduksi. Otor jantung terdiri dari jaringan serabut otot disekitar
jantung sedangkan otot rangka menempel pada tulang fungsinya menggerakkan
manusia.
Memahami peristiwa gerak yang terjadi, diperlukan konsep teori biologis
tentang gerak manusia. Untuk keperluan itu, proses biologis kontraksi otot
dikendalikan oleh sistem syaraf. Otot
dapat berkontraksi disebabkan oleh pergerakan filament tebal myosin pada
filament tipis actin. Manakala filament
bergeser satu sama lain, maka garis Z bergerak memendek dan sarcomer pun
memendek, maka terjadilah kontraksi otot dan terjadinya gerakan. Awal terjadinya gerakan dapat dipahami
melalui konsep aktivitas gerak dalam dua area fungsi, yakni pre frontal cortex
dan parietal lobes. Kedua area ini
merupakan bagian otak yang berfungsi untuk mewujudkan suatu gerak, dan menyusun
urutan gerak sebelum gerakan itu terjadi. Selanjutnya pre frontal cortex dan parietal lobes
ditindak lanjuti oleh supplementary motor area dan premotor area yang dalam
tugasnya bertanggung jawab mengelola gerakan. Fungsi kedua area motor tersebut
terutama memunculkan gerakan-gerakan yang kompleks. Secara biologis peristiwa terjadi akibat
perubahan sistem kimia dan elektrik di dalam reseptor-reseptor otot. Reseptor
otot tersebut membentuk jaringan sistem untuk dapat memunculkan peristiwa
gerak.
1.1.10 Landasan Filosofis Gerak Dalam Aktivitas Pendidikan Jasmani dan Olahraga.
Di dalam pengertian pendidikan jasmani berdimensi filosofis gerak insani
mengantarkan individu berada pada tingkat kualitas hidup yang lebih baik lagi,
yakni memiliki tingkat kesejahteraan paripurna. Gerak insani melibatkan semua
sistem tubuh, seperti sistem saraf, otot, tulang. Gerak insani terkait dengan prinsip mekanika
yang diterapkan dalam tubuh, misalnya gravitasi dan pengaruh daya yang
diterapkan. Atas dasar paparan
sebelumnya, penulis mencoba merumuskan gagasan baru sebagai bahan yang perlu
dipertimbangkan untuk mencapai sajian bahan penulisan selanjutnya. Pembahasan
dimulai dari pengertian pendidikan jasmani dalam perspektif filosofis gerak
insani.
Filosofi pendidikan jasmani dan olahraga menghantarkan penulis betapa
pentingnya pemahaman kecerdasan jasmani berbeda dengan motor educability atau bodily-kinestetics
intelliegnce. Kecerdasan jasmani
dimaksud sangat komprehensif mencakup kemampuan nalar untuk melakukan gerak
jasmani (olahraga) secara mudah dan efesien, tetapi pada saat yang bersamaan
dapat mengambil nilai refleksi dari kegiatan yang dilakukannya. Kecerdasan jasmani mengkombinasikan antara
kemampuan mental (intelektual), emosi dan spritualnya secara serampak dan tidak
ada bagian dimensi utuh manusia yang dilupakan. Penelusuran psikoanalisis
pengetahuan dalam konteks olahraga mengantarkan pemahaman kecerdasan jasmani
dalam dimensi psikomotorik, kognitif dan afektif. Dalam psikomotorik terkandung
muatan pilihan gerak yang di intervensi oleh status sosial, jenis olahraga.
Dimensi koqnitif berupa pengetahuan bio-fisikal tubuh dalam upaya mendapatkan
status jasmani yang optimal.
Dimensi affektif
berupa suasana hati (mood) manakala keterikatan diri dengan olahraga sangat
dipengarhui oleh salera gerak, kesempatan gerak, kebiasaan gerak, pola asuh
keluarga serta keadaan fisik. Beberapa dimensi ini sering berinteraksi
membentuk suatu pemahaman baru dalam penyelenggerakan pendidikan jasmani di
sekolah dan di luar sekolah. Pertanyaan yang dapat diajukan bagaimanakah pola
manajemen pendidikan jasmani dapat memfasilitasi kebutuhan gerak?.
1.1.11 Landasan Neuro-Fisiologis Gerak
Secara fisiologis, landasan terjadinya gerak di awali dari niat sebagai
pusat pengambil inisiatif yang ada pada Corpus
Striatum. Corpus Striatum berfungsi sebagai pusat sistem extrapyramidal,
selanjutnya niat dikomunikasikan kepusat memori dan emosi untuk menentukan pola
gerak. Pesan (informasi) yang diterima
oleh saraf pusat, kemudian direlay kedaerah bagian otak yang menyusun hirarki
tingkat menengah. Secara anatomi, memori
dan emosi terletak pada area motor suplementer dan cortex asosiasi. Semua
struktur ini berkorelasi dengan bagian otak lain. Secara fisiologis, rencana
gerak diterima dari pengendali gerak yang terletak dibagian cortex cerebri dan cerebellum, nuclei, subcortical dan
batang otak. Neuron-neorun ini menerima impuls komando bersamaan menerima
impuls-impuls afferent yang berasal dari reseptor-reseptor otot, tendo, sendi,
kulit, alat vestibular dan mata, yang memberitakan tentang posisi awal tubuh
yang akan digerakkan.
Informasi aferen ini di integrasikan kemudian disusun
menjadi program gerak, kemudian disalurkan melalui jalur desenden kebatang otak dan medulla spinalis. Pertanyaan apa yang mengatur gerak berjalan?.
Gerak berjalan diatur oleh medulla spinalis pada tingkat neuron motoris. Di
tingkat medulla spinalis terpadat jaringan interneuron yang berfungsi sebagai
pusat pembangkit gerak involunter berkoordinasi dengan impuls aferen yang
mengatur otot-otot lengan, bahu, tubuh dan tungkai. Gerak volunter adalah jenis
gerak sadar dan kewaspadaan, sedangkan gerak involunter adalah gerak yang tidak
disadari atau disebut gerak refleks. Ciri-ciri gerak volunter : (1) gerak sadar
dan waspada mengenai apa yang dikerjakan, (2) perhatian dicurahkan pada gerak
yang dilakukan.
1.1.12 Implikasi Teori Belajar Terhadap Pendidikan Jasmani dan Olahraga.
Teori belajar yang menjadi dasar upaya pendidikan banyak mempengaruhi
kurikulum, metode belajar mengajar, administrasi pendidikan, prasarana
pendidikan, serta tuntutan kompetensi guru dan kepala sekolah. Oleh karena itu
teori belajar merupakan tetik sentral dari semua permasalahan pendidikan dalam
upaya melihat implikasi teori-teori belajar tersebut terhadap upayan pendidikan
serta proses belajar motorik akan sangat bermanfaat (Supandi dan Seba (1984).
Teori belajar yang menjadi tinjauan dalam hal ini adalah teori belajar
behaviorisme dan kognitivisme. Kedua teri tersebut secara mendasar memiliki
perbedaan yang nyata, tetapi dalam beberapa hal memiliki kesamaannya. Adapun
beberapa teori yang tergolong dalam behaviorisme adalah ; teori keterhubungan
(contingency) dari Guthrie, Teori Koneksionisme dari Thorndike, Teori Operant
dari Skinner, teori Clasicall conditioning dari Pavlop dan Teori Drive-stimulus
reduction dari Hull. Beberapa teori pendukung lainnya seperti teori belajar
kelompok kognitivisme diwakili oleh Gestalt, teori Skemata oleh Piaget, teori
kognitif social oleh Bandura dan teori pengolahan informasi oleh Norman. Apa
yang akan dikemukakan di bawah ini merupakan gabuangan dari implikasi yang
dikemukakan oleh Hergenhahn dan Olson (1993 ; hal 431-441) dalam hal implikasi
teori-teori di atas terhadap pendidikana secara umum, serta implikasinya
terhadap teori belajar motorik yang dikutif oleh Oxendine (1968 :hal 25-42).
1.1.13 Implikasi Teori Belajar Keterhubungan Guthrie Terhadap Pendidikan Jasmani.
Guthrie menekankan pada
hubungan antara stimulus dan response dan berganggapan bahwa setiap respons
yang didahului atau dibarengi stimulus akan timbul lagi bila stimulus tersebut
diulang lagi. Guthrie menekankan
betapa pentingnya pengulangan (drill). Pengulangan tersebut bukan dimaksudkan
untuk memperkuat hubungan, tetapi untuk membina atau memasangkan stimulus yang
cocok dengan respons yang diharapkan.
Latihan dianggap
penting sekiranya hal ii menyebabkan lebih banyak terjadinya rangsangan yang
menghasilkan perilaku yag di inginkan. Karena setiap pengalaman sifatnya unik,
maka siswa harus mempelajarinya berulang-ulang. Secara garis besar implikasi
teori ini dapat dikemukakan sebagai berikut :
•
Keterampilan tau keahlian kegiatan motorik dapat dikembangkan melalui
ulangan dalam kegiatan. Kegiatan motorik melibatkan sejumlah stimuli yang
merupakan dasar pembinaan kebiasaan. Dengan praktek yang banyak, maka akan
terbina kebiasaan atau respons yang benar.
•
Hadiah dan ganjaran dapat bermanfaat hanya bila ini menyebabkan adanya
kesinambungan kegiatan dalam situasi belajar yang diharapkan. Upaya membina
motivasi belajar hanya diterapkan bila individu segan berpartisipasi dalam
situasi belajar yag diharapkan.
•
Respons yag baru akan mengganggu respons yag telah dipelajari.oleh
karena itu, kegagalan atau respons yag salah menyebabkan lupa terhadap
kebiasaan yang benar. Guru hendaknya menekankan pada keberhasilan dari upaya
individu dengan melengkapi situasi belajar yang dapat menjamin keberhasilan
siswa. Stimuli lama hendaknya dibatasi sedikit mungkin sehingga tidak
terganggu.
•
Kondisi situasi belajar hendaknya lebih menyerupai keadaan sebenarnya
sehingga respons yang telaha dipelajari dapat mengatasi stimuli yang berupa
timnya untuk pertandingan seharusnya melatih timnya dalam keadaan yang
menyerupai ondisi yang sebenarnya dalam pertandingan itu.
1.1.14 Implikasi Teori Belajar Koneksionisme Thorndike Terhadap Pendidikan Jasmani
Thorndike tokoh utama teori
belajar koneksionisme yang biasa disebut teori S-R. Thorndike terkenal karena
hokum belajarnya, yakni hokum kesiapan, hokum sebab akibat dan hokum latihan.
Dalamteori ini Thorndike menghendaki kelasnya menjadi teratur dengan
tujuan-tujuan yang jelas. Tujuan tersebut ditetapkan berdasarkan kemampuan
respons siswa. Respons yang salah harus diperbaiki secepatnya, pentingnya
penghargaan (reinforcement) terhadap siswa yang baik dan benar. Secara ringkas,
implikasi teori Thorndike sbb :
•
Pembelajaran praktek di lapangan dilaksanakan dala kondisi yang
menguntungkan agar respon yang terjadi mejadi efektif.
•
Hukum kesiapan sangat penting
•
KBM diatur dari yang termudah kearah yang sukar
•
Tugas gerak diatur secara bertahap
•
Transfer gerak hanya mungkin terjadi bila ada unsure yang sama (identik)
dengan keadaan lingkungan yang sebenarnya.
•
Reienforcement sangat membantu keberhasilan.
1.1.15 Implikasi Teori Belajar Operant Conditioning dari Skinner Terhadap Pendidikan Jasmani dan Olahraga
Skinner tergolong tokoh teori
belajar behaviorisme. Beberapa teorinya banyak menghasilkan metode mengajar
yang efektif. Skinner berganggapan bahwa ganjaran (reinforcement) itu
semata-mata hanya memperkuat respons.
Guru yang
menganut teori Skinner akan menghindari hukuman (punishment) mereka
mementingkan reinforcement terhadap erilaku yang benar. Menurut SKINNER “ Permasalahan perilaku di
sekolah adalah hasil dari perencanaan pendidikan yang jelek, seperti gagal
member kesempatan untuk SELF-PACING gagal menggunakan reinforcement yang tepat,
pemberi materi yang terlalu sulit untuk dipahami, menggunakan disiplin terlalu
kaku atau tuntutan terlalu berlebihan”.
Secara ringkas,
implikasi teori belajar Skinner sbb:
•
Guru hendaknya mengupayakan pengajaran secara terprogram.
•
Guru hendaknya mengusahakan penggunaan SELF-TESTING (swa-penilaian)
sebagai upaya memantapkan respons.
1.1.16 Implikasi Teori Belajar Drive-Stimulus Reduction dari Hull.
Perbedaan mendasar atara teori Hull dengan Thorndike, Guthtrie terletak
pada pemberian motivasi. Teori Hull lebih banyak terhadap pengurangan pemberian
dorongan rangsangan (drive-stimulus-reduction). Hull lebih menekankan
pengurangan tingkat kecemasan sebagai suatu dorongan dalam pembelajaran
manusia. Secara ringkas, implikasi
teori Hull sebagai berikut :
Implikasi terpenting bagi Hull adalah “ditemukannya adanya hambatan yang
bisa timbul dari kelelahan pada saat latihan”. Hal ini dibuktikan dengan
Kebaikan latihan berdistribusi (distributed practice) lebih dari latihan padat
(massed practice). Oleh karena itu sangat penting merancang latihan dengan
menyertakan masa-masa istirahat. (interval) diantara latihan. Istirahat yang
cukup menjelang masa pencapaian puncak (asymptotic) masa pencapaian maksimal
akan meningkatkan pencapaian hasil belajar.